Story of Pak Aab: It was started from research.

“Everything starts with research. When I helped students collecting their data related to birds in Cipaganti, I became acquainted with bird watching. It was where my heart moved, I think it is time for us to care more about the bird population in Cipaganti”

Said Pak Aab laughing when I asked him why Mr Aab switched fields. This afternoon we spent at Pak Aab’s house cooking and peeling the ripe jackfruit. Accompanied by the puff of smoke from Sundanese liwet rice cooked on the traditional firewood stove with the wood he collected during the day, we chatted to listen to Pak Aab’s story.

The evening when we have team socialisasi at pak Aab’s house.

Pak Aab is a Pangauban resident who recently joined our team at the Little Fireface Project. He is a birdwatcher who begins his morning at six, walking around the coffee farm and noting the species and numbers of birds encountered. At first glance, Pak Aab looks like an ordinary man, but just like everyone has something special in themself, something is exciting about Pak Aab. He is a former hunter. Not just a usual hunter, he is a well-respected and well-known hunter in neighbourhoods.

Pak Aab and his lovely wife.

Pak Aab’s story with the Little Fireface Project began where one of our former staff, Wawan Tarniwan, introduced Pak Aab to LFP. In 2017 Pak Aab became a guide for students who researched the culture of having birds as property in Javanese society. Pak Aab was the person referred because of his knowledge of bird identification. Every day Pak Aab interacts with the student and takes her to residents to conduct interviews.

After one student, another turn arrives. Now is research on the bird population in the Cipaganti area. After travelling among the community for interviews, now Pak Aab assisted in bird species identification in Cipaganti. That is where Pak Aab slowly start to realize the pattern from the data collected every day.

“There used to be a lot of Pleci (Zosterops) birds in this area, but now they seem to have decreased,” said Pak Aab. As he sipped the coffee he planted, picked, roasted, ground, and brewed himself, he took a step forward to continue his sentence, “The Pleci bird ate the leafhoppers. Well, these planthoppers usually damage petai cina trees, so the leaves are damaged and cannot be harvested. In the past, there were still many Pleci birds, the petai here, always a big harvest, but now since the Pleci bird is reduced, petai cina is hard to harvest. “

Manual coffee grinder Pak Aab use to make coffee. On the front are jackfruit’s seeds we just peeled and a bunch of tasty avocados!

Pak Aab said that the Pleci Bird usually found in the forest but because the agricultural land in Cipaganti still has agroforestry trees, the Pleci bird is also often found in the fields. Pleci birds are popular because of their voices, which is the belle of contests. Due to the difficulty of domesticating wild birds, many cage birds die from mishandling, therefore people hunt.

“After I followed students doing research, I became aware, poor birds if the birds captured simply for human enjoyment.”

Zosterops palpebrosus picture by Zulaima


At that point we were amazed. Many of us have learned conservation knowledge from our college, but to realize direct conservation from observations made every day in the field is a privilege. Pak Aab continued, “Because I often observe in the field, I know which species are decreasing or increasing, besides, it turns out that birds are not an intruder but are very helpful. Imagine, we don’t have to buy pesticides because there are birds that eat pests. After all, poor little bird, if you hunt it won’t be useful either, it’s just a hobby, even though you can play ping pong as a hobby, hahaha ”.

Pak Aab and his ping-pong field in front of his house!

And that’s where Pak Aab retired his rifle and invited other hunters to stop hunting. Pingpong is now his busy life at night. Together with other hunter friends who have now also stopped shooting, they enlivened a ping pong field near his house while keeping the village free of hunting.

Pak Aab doing birdwatching

We are delighted to have Pak Aab on our team! In reality, the message of conservation is often tricky to convey through theory alone, but with constant research, deep understanding and even more so with the sharing of someone who has felt the unfavourable effects of hunting, we can deliver the conservation message well. 

___________________________________________________________________________

“Semua dimulai dari penelitian. Ketika saya menjadi membantu mahasiswa untuk mengambil data mereka terkait Burung di Cipaganti, saya mengenal pengamatan burung. Di situlah hati saya tergerak, saya rasa-rasa inilah saatnya kita untuk lebih peduli terhadap populasi burung di Cipaganti”

Begitu jawab pak Aab sambil tertawa ketika saya menanyakan apa alasan pak Aab beralih profesi. Sore ini kami habiskan waktu di rumah pak Aab untuk memasak dan mengupas nangka yang sudah matang. Diiringi kepulan asap dari nasi liwet sunda yang ditanak di atas tungku dengan kayu yang dikumpulkannya di siang hari, kami bercengkerama mendengarkan kisah pak Aab.

Pak Aab adalah warga Pangauban yang belum lama ini bergabung bersama tim kami di Little Fireface Project. Dia adalah seorang birdwatcher yang memulai paginya pukul enam, berkeliling di kebun kopi dan mencatat kehadiran jenis dan jumlah burung yang ditemukan. Sekilas dilihat, pak Aab tampak seperti bapak-bapak biasa, namun sama seperti tiap orang yang memiliki keunikan dalam dirinya, ada sesuatu yang menarik dengan pak Aab. Dia adalah seorang mantan pemburu. Tidak sekedar pemburu biasa, dia adalah pemburu yang disegani dan dikenal di kawasan sini.

Kisah pak Aab dengan Little Fireface Project dimulai di tahun 2019 dimana salah satu staf kami dahulu, Wawan Tarniwan, mengenalkan pak Aab kepada LFP. Pak Aab menjadi guide untuk mahasiswa yang tengah meneliti budaya pemeliharaan burung pada masyarakat Jawa. Di tahun 2017 Pak Aab adalah orang yang dirujuk karena pengetahuannya terhadap identifikasi Burung baik di sangkar maupun di alam liar. Setiap hari Pak Aab berinteraksi dengan mahasiswa tersebut dan menghantarkan kepada warga untuk melakukan wawancara.

Selesai satu mahasiswa, urutan yang lain tiba. Kini adalah penelitian mengenai populasi burung di Kawasan Cipaganti pada 2019. Setelah melalangbuana di antara masyarakat untuk wawancara, kini pak Aab terjun ke lapangan untuk membantu dalam pengenalan jenis burung di Cipaganti. Di sinilah perlahan-lahan pak Aab mulai menyadari data yang dikumpulkan tiap hari dapat ditarik pola.

“Dulu banyak burung Pleci di daerah ini, tapi sekarang kok sepertinya sudah berkurang” kata pak Aab. Sembari menyesap kopi yang dia tanam, petik, roasting, grind, dan seduh sendiri, dia mengambil ancang-ancang untuk meneruskan kalimatnya “Pleci itu memakan hama wereng. Nah wereng tersebut biasa merusak pohon petai cina, jadi daunnya rusak dan tidak jadi panen. Dulu waktu masih banyak burung pleci, petai cina daerah sini, selalu jadi panenan raya, tetapi sekarang semenjak burung Pleci berkurang, petainya jadi susah mau panen.”

Pak Aab berkata bahwa burung Pleci biasanya ditemukan di hutan tapi karena lahan pertanian di Cipaganti masih terdapat pohon agroforestry, maka burung pleci juga sering ditemukan di ladang. burung pleci bernilai tinggi di pasaran dikarenakan suaranya yang sering menjadi primadona kontes. Dikarenakan susahnya mendomestifikasi burung liar, banyak burung sangkar yang mati karena salah penanganan, maka dari itu orang berburu.

“Setelah saya mengikuti mahasiswa melakukan penelitian, saya jadi sadar, kasian Burung kalau hanya ditangkap untuk kesenangan manusia semata.”

Di titik itu kami terkesima. Banyak dari kami mendapat ilmu konservasi dari bangku kuliah kami, tapi untuk menyadari konservasi langsung dari pengamatan yang dilakukan tiap hari di lapangan adalah suatu keistimewaan. Pak Aab melanjutkan, “Karena saya sering pengamatan di lapangan, saya jadi tau jenis apa yang berkurang  dan apa yang bertambah, selain itu ternyata burung itu bukan jadi musuh tapi justru sangat membantu. Bayangkan, kita tidak harus membeli pestisida karena sudah ada burung yang memakan hama. Lagian kasian burung kecil, kalau diburu juga gak akan bermanfaat, hanya pelampiasan hobi saja, padahal hobi kan juga bisa main ping pong, hahaha”.

Dan di situlah pak Aab mem-pensiun-kan senapannya dan mengajak pemburu lainnya untuk berhenti berburu. Pingpong menjadi kesibukannya kini di waktu malam. Bersama teman-teman pemburu lainnya yang kini juga berhenti berburu, mereka memeriahkan lapangan pingpong di dekat rumahnya sembari tetap menjaga desa bebas dari perburuan.

Kami sangat senang memiliki pak Aab di tim kami! Dalam kenyataannya, pesan konservasi kerapkali susah dikumandangkan melalui teori semata, tapi dengan penelitian konstan, pemahaman mendalam dan terlebih dengan cerita nyata dari seseorang yang telah merasakan dampak negatif dari perburuan, pesan tersebut dapat tersampaikan dengan baik.