Volunteer Experiences: Zain Part 1

I’ve been at the Little Fireface Project Research Station in Garut, West Java, for two months now, and it’s been increasing over time. I can’t wait to share with you, the experience is so thrilling and needs adaptation as soon as possible. I will share in this short article some exciting things, analysis of community conditions, and adventurous experiences based on observations of the behaviour of one of the smallest and cutest primates but very deadly. Yes, slow, loris.

It may sound foreign to your ears, but believe me, once you look into his eyes, you will fall in love. Its distribution is located on the Asian peninsula. There is an enormous habitat escalation in Indonesia, namely on the islands of Java and Kalimantan.

The beginning.

The Little Fireface Project is a non-governmental organization based on research and community empowerment engaged in the conservation of the Javan slow loris. My interest started last September 2020. Together with the “Ape Warrior” team, I was a motor, Center For Orangutan Protection (COP). The police and we managed to evacuate the Javan slow loris from illegal wildlife traders in Wonosobo, Central Java. A total of 5 individuals of Javan Slow Loris and 3 Forest Cats managed to get the opportunity to return to their habitat and live a decent life. Although my educational background is an engineer. But my love for wildlife, especially primates, made me determined and committed to taking an essential part in saving wildlife.

Then and now. 

Before joining this research project, I have investigated the circulation of wildlife trade protected by the state or not occurs so big and fast in this era of information technology. And no less than trade, there is the terror of air rifles for the sustainability of wildlife habitats in nature. This is very worrying and needs to be taken seriously. Although long before modern human civilization began, our ancestors were hunters and gatherers. Hunting is a natural masculine trait, whereas gathering is clearly a feminine trait. However, masculinity in assessing and deceiving ecological components not infrequently occurs in the natural resource sector, which is extracted to meet human needs, which is very difficult to contain. Systemic destruction of environmental systems due to non-sense behaviour and masculinity in managing the environment can cause enormous losses in the future that cannot be resolved through material means.

All about taste.

Indeed, this is like a confession of sin, where the tendency of modern society to commodify wild animals as objects and commodities of high economic value causes demand and hunting to continue. In many places. Around the world. These behavioural deviations can often be found on our respective social media pages. Within seconds, links containing violence against animals and violations of animal rights and norms were heeded by the presence of social media influencers who keep wild animals in their homes. It should be remembered, wild is still wild and continues to wander over time even though efforts have been made to tame these animals. Before we get into a much more complex discussion. Where animals have the fundamental right of life, each individual, and in groups. Just as humans have human rights, animals have animal welfare. They feel pain, they feel threatened, they must be free from pain, rest, and free from physical and non-physical disturbances, free from hunger and thirst. And also free to express their natural behaviour. This is regulated in the Animal Welfare Act, Number 18 of 2009. Also known as the Five of Freedoms initiated by the OIE (World Organization for Animal Health).


Sudah dua bulan saya berada di Stasiun Penelitian Little Fireface Project di Garut, Jawa Barat dan terus bertambah berjalannya waktu. Tidak sabar saya membagikan kepada kalian, pengalaman yang begitu mendebarkan dan membutuhkan adaptasi secepat-cepatnya. Saya akan membagikannya dalam tulisan singkat ini beberapa hal menarik, analisa kondisi masyarakat dan pengalaman berpetualangan berbasis pada pengamatan pada perilaku primata paling mungil dan lucu namun sangat mematikan. Ya, Kukang.

Mungkin terdengar asing di telinga anda, namun percayalah, sekali waktu anda menatap matanya yang kemayu anda akan jatuh cinta. Persebaranya tersebar terletak di semenanjung Asia, terdapat eskalasi habitat secara besar di Indonesia yakni di pulau Jawa dan Kalimantan.

Awal mula.

Little Fireface Project merupakan sebuah organisasi non pemerintah berbasis penelitian dan pemberdayaan masyarakat yang bergerak pada konservasi Kukang Jawa. Ketertarikan saya berawal dari September 2020 lalu, saya sebagai motor bersama dengan tim ‘’Ape Warrior’’, Centre For Orangutan Protection (COP) serta aparat kepolisian berhasil melakukan evakuasi Kukang Jawa dari pedagang satwa ilegal di Wonosobo, Jawa Tengah. Sebanyak 5 individu Kukang Jawa dan 3 Kucing Hutan berhasil mendapatkan kesempatan untuk kembali ke habitatnya dan hidup layak. Meskipun latar pendidikan saya adalah disiplin keteknikan. Namun kecintaan saya pada satwa liar, khususnya primata membuat saya bertekad dan berkomitmen dalam mengambil bagian penting pada upaya penyelamatan satwa liar.

Dulu dan sekarang.

Saya pernah melakukan investigasi sebelum bergabung pada proyek penelitian ini, perputaran perdagangan satwa dilindungi oleh negara maupun tidak, terjadi begitu besar dan cepat di era teknologi informasi ini. Dan tidak kalah dari perdagangan, kemudian ada teror senapan angin bagi keberlangsungan habitat satwa liar di alam. Hal ini sangat memperihatinkan dan perlu disikapi dengan serius. Meskipun jauh sebelum peradaban manusia modern di mulai, nenek moyang kita adalah sosok pemburu dan peramu. Pemburu sebagai sifat maskulin alami dan meramu jelas sebagai sifat feminim. Namun maskulinitas dalam menilai dan memperdaya komponen ekologi, tak jarang terjadi pada sektor sumber daya alam yang terekstraksi untuk mencukupi kebutuhan manusia sangatlah sulit untuk di bendung. Kehancuran sistem ekologi secara sistemik akibat perilaku non-sense dan maskulinitas dalam mengelola lingkungan hidup dapat menimbulkan kerugian yang amat besar di kemudian hari yang tidak dapat di selesaikan melalui materil.

Semua tentang rasa dan selera.

Memang hal ini seperti pengakuan dosa, dimana kecenderungan masayarakat modern yang telah mengkomodifikasi satwa liar sebagai objek dan komoditas bernilai ekonomi tinggi menyebabkan permintaan dan perburuan terus terjadi. Di banyak tempat. Di belahan dunia. Penyimpangan perilaku ini, acap kali dapat kita temukan di laman media sosial kita masing-masing. Dalam hitungan detik, tautan berisikan kekerasaan terhadap satwa dan pelanggaran hak serta norma pada binatang di indahkan oleh hadirnya media sosial influencer yang memelihara satwa liar di rumahnya. Perlu di ingat, liar tetap lah liar, dan terus meliar berjalannya waktu meskipun sudah dilakukan upaya penjinakan pada satwa tersebut. Sebelum kita masuk pada pembahasan yang jauh lebih kompleks. Dimana satwa mempunyai hak asas hidupnya, setiap individu, dan berkelompok. Seperti halnya manusia yang mempunyai hak asasi manusia., satwa mempunyai kesejahteraan satwa. Mereka merasakan sakit, mereka merasa terancam, mereka harus bebas dari rasa sakit, istirahat, mereka harus bebas dari gangguan secara fisik maupun non fisik,  bebas dari lapar dan kehausan. Dan juga bebas mengekspresikan perilaku alaminya. Hal ini diatur pada peraturan Undang-Undang Kesejahteraan Hewan , Nomor 18 tahun 2009. Dikenal juga sebagai Five of Freedom yang dicetuskan oleh OIE ( World Organisation for Animal Health).