Volunteer Experiences: Zain part 2

People always smile and friendly when meeting other people

My initial hypothesis is that the causes of some species’ mass extinction are hunting and illegal trade of wildlife, especially in slow lorises. However, let’s look at the underlying phenomena. The uncontrolled human population growth gives them the right to dominate the others who live on earth. Human control and exploit resources, including the nature and economics of people’s motivation growth obsession.

 

A question mark for me.

 

I remember clearly my arrival at Little Fireface Project in Cipaganti, West Java. A lovely moment when they welcomed Me when I arrived. There were staff such as Tungga and Esther and one intern, Rafli when my relatives who lived in Garut dropped me off at Rumah Hijau. We started the conversation. Confusion occurred in my mind. What can I do here? Can I give meaningful or memorable effort to the project and the local community? I was overthinking about it for a whole week. With My background in Environmental Engineering, I don’t know much about the animals’ social behavior, eating behavior, or slow loris interactions in nature. But a big urge in my mind made me want to keep learning and understanding what I didn’t know before. Here, 18 Javan slow lorises were observed and followed by the team to be monitored more deeply. There are three babies, slow lorises born this year from Tereh, Lupak, and Zippy.

 

It’s showtime!

Finally came the time when I was able to look around to the local community on the day while on the night observing the Javan slow loris. The environmental conditions that support the natural habitat of the Javan slow loris are so problematic that it is a complex case for me. I don’t know why the local community can thrive without any landfill or waste treatment. Living in such high density, with very little space. Most young people around productive middle age (12-35 years old) work as farmers and blue-collar workers. Indeed, the soil conditions are very fertile, but the slope in several locations will shortly be a large-scale land shift. Again, this is my crazy assumption when I saw the hill condition of the land that never rests.

 

Earth is our planet

One of the coffee farmers shows up the red beans coffee. It means the coffee ready to harvest

Indeed, the land is very glorified here. The farmers are so caring and guarding it. Although, the land they cultivate is ordinary land. Still, it becomes the natural habitat of the Javan slow loris and is really very useful. What worried Me was if that gift in the form of river banks and loose soil later turns into a disaster in the future. Not to mention the water source, which is used mainly to irrigate agriculture. If it is dry, those whose land is far from water sources will undoubtedly fail to harvest. Not to mention, water is an inseparable part of life. I can’t imagine if the things I was afraid of actually happened. How is the fate of my friends who I love here? Yes, right. In Cipaganti.

 

Heart to heart.

Based on a short conversation, my vent session with land cultivators or farmers in Cipaganti when I had free time and did not observe the loris. Although a more profound study is needed regarding environmental conditions, a study of climate, soil, social and economic conditions, drainage lines and gutters, IPAM, IPAL, RTRW Garut Regency, SKK Sanitation Garut, raw water, and waste conditions, especially in COD, BOD, TSS, TOC contamination, total coliforms, heavy metals, pathogens, etc. in the natural habitat of the Javan slow loris, Cipaganti, West Java. Finally, after two months of dwelling in Cipaganti, I decided to take a break and return to my hometown. Considering the high amount of college tasks I had to finish, the internet network is not very stable, and my physical condition is not very well. Before I went, I brought some water samples. I’m curious to run a simple test at the Environmental Laboratory, Faculty of Civil Engineering and Planning, the Islamic University of Indonesia in Yogyakarta. In the future, I would love to ignite more public attention, somehow, because actually, I personally am not specified in doing such activities.

 

But what I can promise, shortly, is that I will bring good things to my next visit to Cipaganti. I also wrote a few poems while observing, but these are the poems of choice to be remembered and shared. Maybe in the future, this will be my legacy.

 

 

 

 

Hipotesis awal Saya mengenai penyebab kepunahan massal beberapa spesies adalah perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar, terutama pada kukang. Namun, mari kita lihat fenomena yang mendasarinya. Pertumbuhan populasi manusia yang tidak terkendali memberi mereka hak untuk mendominasi orang lain yang hidup di bumi. Manusia menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam dan memotivasi orang-orang pada obsesi pertumbuhan ekonomi.

One of the Little Fireface Project’s activities is to make bridges for the slow loris can have way. In this picture, the bridges installed local farmer’s coffee garden

 

Sebuah tanda tanya bagi Saya?

Saya ingat dengan jelas kedatangan saya di Little Fireface Project di Cipaganti, Jawa Barat. Saat yang indah ketika mereka menyambut Saya ketika saya tiba. Ada staf seperti Tungga dan Esther dan seorang anak magang yang bernama Rafli ketika Saya tiba di Rumah Hijau Bersama kerabat kerabat saya yang tinggal di Garut. Kami memulai percakapan. Kebingungan terjadi dalam pikiranku. Apa yang bisa Saya lakukan di sini? Dapatkah Saya memberikan upaya yang berarti atau berkesan bagi proyek dan komunitas lokal? Aku terlalu memikirkannya selama seminggu penuh. Dengan latar belakang Saya di Teknik Lingkungan, saya tidak tahu banyak tentang perilaku sosial hewan, perilaku makan, atau interaksi kukang di alam. Tapi dorongan besar dalam pikiran Saya membuat Saya ingin terus belajar dan memahami apa yang saya tidak tahu sebelumnya. Di sini, 18 ekor kukang diamati dan diikuti oleh tim untuk dipantau lebih dalam. Ada tiga bayi kukang yang lahir tahun ini dari Tereh, Lupak, dan Zippy.

 

Waktunya pertunjukkan!

Akhirnya tiba saatnya Saya bisa melihat-lihat masyarakat sekitar pada siang hari karena di malam hari adalah waktu untuk mengamati kukang jawa. Kondisi lingkungan penyangah habitat alami Kukang Jawa yang begitu besar sangatlah mencemaskan dan membekas dalam ingatan Saya. Saya tidak tahu mengapa komunitas lokal dapat berkembang tanpa TPA atau pengolahan limbah. Hidup dalam kepadatan tinggi, dengan ruang yang sangat sedikit. Sebagian besar anak muda berusia paruh baya produktif (12-35 tahun) bekerja sebagai petani dan buruh kasar. Memang kondisi tanahnya sangat subur, namun kemiringan di beberapa lokasi sebentar lagi akan terjadi pergeseran lahan secara besar-besaran. Sekali lagi, ini asumsi gila Saya ketika melihat kondisi perbukitan yang tak pernah di Istirahatkan

 

Bumi adalah planet kita bersama

Memang, tanah sangat dimuliakan di sini. Para petani sangat peduli dan menjaganya. Padahal, tanah yang mereka garap adalah tanah biasa. Apalagi tanah yang mereka garap bukanlah tanah biasa, namun menjadi habitat alami Kukang Jawa dan benar-benar sangat disayangkan jika nantinya sebuah anugerah berupa tanah subur dan gembur malah menjadi malapetaka di kemudian hari. Belum lagi sumber air yang digunakan terutama untuk irigasi pertanian. Jika kemarau, mereka yang lahannya jauh dari sumber air sudah dipastikan akan gagal panen.  Air merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Saya tidak bisa membayangkan jika hal yang Saya takutkan benar-benar terjadi. Bagaimana nasib teman-temanku yang aku cintai di sini? Ya benar. Di Cipaganti.

 

Hati ke hati.

Berdasarkan percakapan singkat, sesi curhat Saya dengan penggarap lahan atau petani di Cipaganti saat ada waktu luang dan tidak mengamati kukang. Meskipun perlu kajian lebih mendalam mengenai kondisi lingkungan, kajian iklim, tanah, kondisi sosial ekonomi, saluran drainase dan talang, IPAM, IPAL, RTRW Kabupaten Garut, SKK Sanitasi Garut, kondisi air baku, dan limbah khususnya COD , cemaran BOD, TSS, TOC, total coliform, logam berat, patogen, dll di habitat alami kukang jawa, Cipaganti, Jawa Barat. Akhirnya, setelah dua bulan berdiam di Cipaganti, Saya memutuskan untuk rehat dan kembali ke kampung halaman. Mengingat banyaknya tugas kuliah yang harus Saya selesaikan, jaringan internet sangat tidak stabil, dan kondisi fisik Saya tidak terlalu baik. Sebelum Saya pergi, saya membawa beberapa sampel air. Saya penasaran untuk menjalankan tes sederhana di Laboratorium Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Kedepannya juga Saya akan memantik lebih banyak atensi publik, entah melalui apa, karena belum terpikirkan sepenuhnya. Namun yang Saya yakini, dalam waktu dekat, Saya akan membawa hal-hal baik pada kedatangan saya di Cipaganti selanjutnya. Saya juga menulis beberapa puisi sambil mengamati, tetapi ini adalah puisi pilihan untuk diingat dan dibagikan. Mungkin di masa depan, ini akan menjadi warisan Saya.